Cerpen Persahabatan "Never Stay Away" oleh Intan Puspita
Never Stay Away
Part 1
Setelah
jam istirahat selesai, kegiatan belajar mengajar di salah satu Sekolah Menengah
Atas Islam di kota santri kembali dimulai. Tak ada lagi siswi-siswi yang berada
di luar kelas. Hanya ada siswi di gedung sekolah ini, karna memang program
sekolah yang memisahkan gedung untuk pembelajaran dan hampir semua kegiatannya
terpisah antara siswa dan siswi. Semua telah kembali ke kelas masing-masing
untuk menerima materi yang akan disampaikan oleh bapak/ibu guru.
Semua
kelas nampak tertib melaksanakan kegiatan belajar mengajar, begitu juga di
kelas XI-Keagamaan III. Kebetulan materi yang tengah disampaikan ialah mata
pelajaran Ilmu Hadist. Semua siswi dalam kelas tersebut antusias dengan apa
yang tengah disampaikan oleh guru yang terkenal sabar oleh para siswa dan siswi
jurusan Keagamaan. Namun tidak dengan Atha, memang dia terlihat seolah
memperhatikan, tapi sesungguhnya tak ada satu katapun yang masuk
dalam otaknya. Atha terigat akan mimpinya semalam.
~~~
“Atha..” panggil April.
Atha
yang saat itu tengah asik
mendengarkan music terhenti karena panggilan mamanya.
“Iya ma?”
“Rafa disini nih”
Atha melepaskan earphonenya,
berusaha mencerna apa yang baru saja mamanya katakana.
“Rafa disini? Apa aku nggak salah denger ya?”
tanya Atha pada dirinya sendiri.
Tanpa
pikir panjang, Atha langsung keluar kamar dan melihat Rafa tengah duduk di
kursi meja makan milik keluarga Atha. Atha melangkah perlahan mendekati Rafa.
Dia tak menyangka akhirnya bisa bertemu dengan sahabatnya yang sangat ia
rindukan itu. Atha merasa sangat bahagia, bahkan lidahnya terlalu kelu hanya
untuk menyapa Rafa.
“Hai
Tha” sapa Rafa yang hanya mendapat jawaban tatapan seolah tak percaya akan
kehadiran Rafa oleh Atha. Atha meraih kursi didepan Rafa dan duduk disana.
Pandangan Atha tak lepas dari sahabat gendutnya yang tengah asik makan tersebut
dan senyum yang tak pudar sedikitpun dari bibir manisnya.
“Apa
kabar?” Hanya itu yang mampu terucap dari bibir Atha. Rafa yang tengah
mengunyah makanan dengan lahap berhenti sejenak dan menatap Atha.
“Baik”
Dengan senyum lebar yang membuat matanya semakin sipit, terlihat begitu
menggemaskan di mata Atha.
“Bentar
aku ambilin minum” Atha beranjak pergi ke dapur. Sembari mengambilkan Rafa
minum, Atha bertanya pada April.
“Ma,
kok Rafa tiba-tiba kesini ya?”
April yang sedang sibuk dengan masakannya
hanya menjawab “Ya wajar dong, kan dia sahabat kamu”. Atha hanya mangut-mangut
berkata dalam hati ‘iya juga sih’.
Kemudian
Atha kembali untuk menemui Rafa. Namun ia tak menemukannya. Ia bertanya pada
dirinya sendiri ‘kemana perginya Rafa? Cepet banget’
“Ma!?”
setengah berteriak. Aprilpun mempercepat langkahnya menemui Atha.
“Kenapa
Tha?”
“Ma, Rafa mana ma? Kok Rafa pergi
nggak ngomong Atha dulu sih ma?”. Tanya Atha cemas. April menatap putrinya
dengan tatapan kasihan.
“Ma, jawab ma, Rafa mana? Atha
baru aja ketemu Rafa, sekarang Rafa udah pergi lagi”. Atha semakin histeris.
Air matanyapun tak mampu ia tahan. Ia terus saja menghujani April dengan banyak
pertamyaam.
“Sayang, dengerin mama. Mama
nggak seharusnya ngomong ini ke kamu, tapi kamu harus mengerti”. April memeluk
putrinya yang terisak. Atha tak tahu mengapa dia terisak begitu hebatnya. Yang
ada di pikiran Atha hanya ia takut kehilangan.
~~~
Atha menghela nafas panjang. Kenapa ia bisa mimpi seperti
itu. Entahlah, semoga hanya mimpi. Hingga akhirnya satu kata dari Pak Zen yang
sepenuhnya mampu mengembalikan kesadarannya.
“Renatha”
Part 2
“Renatha”
Sambil menghela nafas, Atha yang meras Namanya
dipanggil gelagapan dan hanya tersenyum canggung.
“Iya pak?” ucap Atha pelan, takut-takut kena
marah.
Namun Pak Zen bukannya marah malah tersenyum.
“Kamu memang memperhatikan ketika saya
menerangkan. Namun apa yang saya sampaikan sama sekali tidak kamu terima. Dari
pandagan kamu, kamu tidak terlihat untuk berusaha untuk memahami materi ini.
Jasadmu memang disini, namun hati dan fikiranmu tidak disini”.
Atha hanya menundukkan kepala. Diam, merasa
bersalah. Kemudian Pak Zen menghampirinya.
“Jangan seperti itu lagi Tha, sayang dengan waktumu yang seharusnya dipake belajar malah
dipake bengong”. Tuturnya sambil tersenyum yang dijawab dengan anggukan kecil
oleh Atha.
“Maaf pak”
“Oke anak-anak, kita lanjutkan materi kita
tentang hadist yang menjelaskan tentang toleransi dalam pergaulan”.
Kemudian kegiatan belajar mengajar kembali berjalan seperti biasa hingga bel berbunyi
sebagai tanda berakhirnya pembelajaran hari ini.
Atha berjalan kaki untuk pulang menuju asrama
yang ia tinggali untuk 3 tahun ini. Ya, Atha tinggal di pesantren yang cukup
jauh dari tempat tinggalnya. Atha hanya akan pulang ketika libur semester dan
libur Hari Raya. Itu membuat Atha jauh dari keluarga juga sahabat lamanya.
.
.
.
“Serius
Pak Zen sampek ngomong kayak gitu ke kamu?” Tanya Kyra yang dibalas anggukan
oleh Atha.
“Parah ih. Heran deh, kenapa sih kamu?” Kyra tetap saja bertanya meskipun teman disampingnya
tersebut terlihat tak ada niatan untuk menjawab.
“Emang
sih, kalo aku perhatiin nih ya, kamutuh sering diem, sering ngelamun. Bisa ya
gitu, tiba-tiba kamu jadi orang yang pendiem? Serem kan liatnya, orang nggak biasanya kamu kayak gitu.” Dengan
tatapan menyelidik Kyra pada Atha.
Atha
masih saja diam. Memandang pohon-pohon yang berada di halaman dari balkon
lantai dua kamar mereka, tempat mereka berada sekarang.
“Terus
kemaren waktu di kelas diniyah sore juga gitu. Waktu setoran hafalan nadzom
Imrithi, kan kamu nggak lancar tuh hafalannya, terus ustadz Nawawi juga dawuh
(bilang) kalo kamu udah satu bulan ini nggak hafalan, hafalan juga nggak
lancar. Padahal yang kamu setorin Cuma sedikit nadhomnya, itupun bagian bab
awal-awal kan? Pastinya lebih mudah” cerocos Kyra yang notabenenya teman akrab
Atha selama di pesantren juga teman sebangku di kelas diniyah.
Tetap
saja tak ada jawaban dari Atha. Atha tak menyalahkan Kyra yang
sikapnya seperti itu padanya. Itu sebagai bentuk perhatian Kyra padanya bukan?.
“Kamu
kenapa?” Tanya Kyra.
Namun
tak kunjung ada jawaban dari Atha. Atha masih sibuk dengan pikirannya.
“Tha!”
panggil Kyra sambil menyenggol pelan lengan Atha.
“Eh, iya
Ra?” jawab Atha sambil menoleh ke sobat yang duduk disampingnya.
Kyra
menghela nafas lelah dan memutar bola matanya malas.
“Tuh kan
ngelamun lagi. Kamu kenapa sih Tha?”
“Aku
kangen sama sahabatku”
Kyra
mengerutkan alisnya heran, belum puas dengan jawaban Atha. Kyra bertanya lagi
“Yakin
cuma karna itu?”
Karena
Kyra tahu betul gimana sobat karibnya itu. Mana mungkin seorang Atha yang ceria
dan nggak bisa diem bisa berubah menjadi orang yang pendiam hanya karna kangen.
Atha menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan.
“Aku
berantem sama sahabatku”
Part 3
“Aku berantem sama sahabatku” jawab Atha
dengan suara pelan.
“Rafa maksudnya? Kamu berantem sama Rafa?”
tanya Kyra kaget. Atha hanya mengangguk pelan.
“Kok bisa? Selama ini kamu sama Rafa kan
baikbaik aja?” tanya Kyra kesal.
“Kenyataannya bisa gini loh Ra” jawab Atha
tak kalah kesalnya.
“Hehe” Kyra cuma bisa nyengir dengan wajah
tak berdosanya.
Atha yang sudah kesal dibuat makin kesal
dengan tanggapan yang Kyra berikan padanya. Atha mengusap wajahnya pelan.
“Pacarnya dia nggak bisa nerima aku sebagai
sahabatnya Rafa”
Kyra terdiam dengan ekspresi yang seolah tak
percaya dengan apa yang baru saja Atha katakana.
“Dia cemburuan banget orangnya. Rafa nggak
pengen ada kesalahfahaman antara dia dan ceweknya. Mereka pernah ada salah faham
sebelumnya. Sampai akhirnya si ceweknya itu kasih dia kesempatan lagi buat
perbaiki semuanya.
“dia nggak mau nyakitin perasaan ceweknya lagi, dia nggak
mau ngecewain lagi, dia nggak mau ngehancurin kepercayaan yang diberikan
padanya. Dia mau buktiin kalo dia bisa jaga kepercayaan itu” jelas Atha.
“Ya
nggak bisa gitu dong, gimanapun juga kehadiran kamu dalam hidupnya Rafa itu
lebih dahulu daripada tu cewek. Lagian udah jelas banget kan, kamu sahabatnya
sedangkan dia pacarnya. Dari situ udah jelas beda, masih aja nggak bisa nerima.
Egois banget sih”
Atha
menghela nafas panjang
“Ra..”
“Si Rafa
juga gitu, kenapa dia nggak jelasin aja ke pacarnya itu kalo kamu Cuma
sahabatnya. Bisa-bisanya sih dia lebih mentingin tuh cewek daripada sahabatnya”
sambung Kyra tanpa peduli dengan panggilan Atha.
“Aku
juga salah” potong Atha.
Kyra
terdiam dan menoleh ke Atha. Menunggu penjelasan dari Atha.
“Aku nggak
pernah ada buat Rafa. Aku nggak pernah ada dalam suka dan dukanya dia. Aku
nggak pernah ada disampingnya saat dia lagi butuh-butuhnya teman. Mungkin
selama ini, ceweknya itu yang selalu ada buat dia, yang selalu nemenin dia saat
aku jauh darinya. Wajar aja kalo Rafa kayak gitu. Mungkin.. Dia orang yang
special dalam hidup Rafa, Rafa sayang banget sama dia, Rafa nggak mau ngecewain
orang yang dia sayang. Aku nggak bisa nyalahin dia gitu aja. Bahkan mungkin ini
semua berawal dari kesalahanku.
Atha tersenyum
miris. Tangan kirinya terangkat untuk menghapus air matanya perlahan. Kyra
mengusap pundak Atha berusaha menguatkannya.
“Kamu
udah berusaha minta maaf ke Rafa?”
“Gimana
mau minta maaf, chat aja nggak dibales”
Kyra
berfikir berusaha mencari cara lain.
“Waktu
liburan kemaren kamu nggak nemuin dia?”
“Aku
sempat liat dia sih, tapi aku sengaja nggak nyapa..” Atha menggantungkan
kata-katanya.
“Kenapa?”
Atha
hanya menggerakkan bahunya, mewakili bibirnya yang tersenyum tipis seolah
sangat sulit hanya untuk mengucapkan ‘tidak tahu’. Kyra memahami sobat karibnya
itu, jika saja Kyra ada di posisi Atha kala itu, mungkin Kyra juga sengaja
nggak akan nyapa Rafa. Pikiran dan hatinya akan beradu. Bahkan untuk menyapapun
lidah terasa kelu, sehingga hanya mampu menatap tanpa mampu berucap.
Atha
mengangkat kepalanya, memandang langit malam yang indah dengan gemerlap cahaya
bintang.
“Cinta
hebat ya, persahabatan yang telah lama terjalin bisa goyah hanya karna cinta”
Kyra
hanya terdiam menatap Atha.
“Ra..”
“Hmm..”
“Aku
salah ya?”
Kyra
yang tak mengerti arah pembicaraan Atha hanya mengerutkan kedua alisnya
bingung.
“Rafa
berantem sama ceweknya gara-gara aku. Aku udah nimbulin konflik diantara
mereka. Aku nggak bisa nggertiin dia, malah aku yang marahin dia. Kenapa waktu
itu aku yang marah, kan aku juga yang salah. Jahat banget ya aku. Bisa-bisanya
hancurin kebahagiaannya Rafa. Nggak salah kalo dia marah, emang akunya yang
egois” Mata Atha mulai berkaca-kaca.
“Seharusnya
aku bisa memahami posisinya. Seharusnya aku ada buat nguatin dia. Bukan malah..” Atha sengaja tak melanjutkan ucapannya.
“Aku
belum bisa disebut sahabat”
Air
matanya jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Mewakili semua yang selama ini ia
pendam dalam hatinya. Kyra yang berada disampingnya langsung memeluk Atha.
Berusaha untuk menenangkannya, berusaha untuk menguatannya. Atha benar-benar
berada dalam titik terendahnya. Hanya air matanya yang mampu menggambarkan
betapa rapuhnya Atha saat ini.
“Tha,
kamu nggak boleh nyalahin diri kamu sendiri kayak gitu. Kamu hanya akan
memperkeruh semua. Nyalahin diri sendiri buat kamu makin tersiksa.
Menyelesaikan suatu masalah dimulai dengan memaafkan diri sendiri”
“Apa
Rafa mau maafin aku? Apa Rafa masih menganggapku sahabat?” Tanya Atha di tengah
isakannya.
“Pasti.
Rafa pasti maafin kamu dan persahabatan kalian akan kembali seperti dulu lagi”
Kyra
melepaskan pelukannya pada Atha. Kedua tangannya memegang pundak Atha untuk
meyakinkan.
Kyra
menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan.
“Kalian
Cuma butuh waktu. Suatu saat nanti semua akan membaik. Masalah ini akan
berakhir. Aku yakin”. Ucap Kyra lirih sambil menepuk pelan pundak Atha.
Atha
tersenyum memandang sobatnya yang selalu menjadi tempat Atha berbagi cerita
selama di pesantren.
“Semoga”
Hanya itu yang mampu terucap dari bibir Atha. Atha bersyukur disaat dia dalam
keadaan seperti ini masih ada Kyra yang selalu peduli dengannya, yang selalu mendukungnya. Setidaknnya, Kyra
mampu menghadirkan secercah harapan bagi Atha, Kyra mampu menumbuhkan semangat
baru untuk Atha. Dan satu lagi, Kyra mampu mengembalikan senyum Atha yang
beberapa waktu ini sempat pudar. Meskipun Atha sering kesal dengan Kyra yang
selalu saja bawel, namun dibalik itu semua dia sangat perhatian padanya. Kyra
dan Rafa sama berartinya dalam hidup Atha.
Part 4
#11 tahun yang lalu
Kriiiiiiinnggg….
Kegiatan
belajar mengajar di salah satu Sekolah Dasar telah berakhir.semua siswa-siswi
berhaburan keluar kelas, berlari menghampiri orang tuanya yang menanti di luar
gerbang. Atha berjalan perlahan, langkah Atha melambat ketika ia tak menemukan
orang tuanya di gerbang sekolah. Sepertinya ia harus menunggu orang tuanya
untuk menjempunya. Atha berjalan menuju salah satu tempat duduk di depan kelas
dan duduk disana.
Halaman
sekolah mulai sepi. Atha menunggu cukup lama, namun orang tuanya tak kunjung
datang untuk menjemputnya. Atha mulai merasa bosan dan terduduk lelah di
kursi itu.
“Sedang
apa kamu disini?” Sapa seorang bocah laki-laki bertubuh sedikit gemuk sambil
ikut duduk disebelahnya.
“Aku
menunggu mama menjemputku” Jawab Atha pada bocah yang ia tahu adalah teman
sekelasnya. Ya, dialah Rafa, bocah yang banyak ditakuti oleh teman laki-laki
dikelasnya, juga terkenal seantero sekolah karena sikapnya yang bossy itu.
Namun disisi lain, dia selalu mendapat nilai tinggi di kelasnya.
Mereka
memang sudah megetahui nama satu sama lain, namun belum pernah ada percakapan
sebelumnya. Entah karena Rafa yang cuek, atau Atha yang nggak ada jiwa sok
kenal sok dekat sama sekali dalam hidupnya. Padahal mereka sekelas lebih dari
setahun.
Rafa
dan Athapun asik dengan pembicaraan ringan diantaran mereka. Mereka mulai
terlihat akrab dan saling berbagi cerita satu sama lain. Sesekali tawa renyah
terdengar di sela-sela percakapan mereka.
“Ngomong-ngomong,
gimana caranya biar bisa bertahan di peringkat pertama sepertimu? Setiap akhir
semester kamu selalu mendapat peringkat pertama, dan aku selalu ada di urutan
bawahmu. Aku nggak pernah bisa ngalahin kamu”. Kesal Atha.
Rafapun
terkekeh pelan melihat tingkah Atha yang kesal padanya.
“Ya
belajar” Jawab Rafa sekenanya.
Atha
hanya mengerucutkan bibirnya karena semakin kesal dengan jawaban Rafa. Rafa
diam sejenak.
“Bertemanlah
denganku, aku akan mengajarkan padamu cara untuk mendapatkannya. Kita bisa belajar bersama” dengan tatapan
meyakinkan yang dibalas oleh Atha dengan senyum bahagia dan mata berbinar.
Part 5
#2 tahun setelah itu
Saat
itu Atha sedang kurang enak badan. Dia tidak mengikuti jam pelajaran olahraga.
Dia hanya duduk di bangku dengan meletakkan kepalanya diatas meja dan melipat
tangannya yang ia gunakan sebagai bantal.
Sebelum
jam pelajaran olahraga dimulai, Rafa mulai celingukan karena tak menemukan
sahabatnya ada di barisan kelasnya. Rafa mengedarkan pandangannya untuk mencari
Atha, namun Rafa tak juga menemukannya. Rafa mulai khawatir, karena ia tahu Atha
tak pernah meninggalkan jam pelajaran apapun.
Kemudian
Rafa pergi dari lapangan untuk mencari Atha tanpa memperdulikan guru olahraga
yang meneriakinya untuk tidak meninggalkan lapangan. Rafa berlari menuju
kelasnya. Dia menemukan Atha terduduk lemah di bangku dengan meletakkan
kepalanya di meja dan menggunakan tangannya sebagai bantal.
Rafa
menghampirinya. Ia duduk di bangku kososng disamping Atha.
“Tha,
kamu kenapa? Kamu sakit?” tanya Rafa dengan nada cemas.
Atha
perlahan membuka matanya sayup, memandang Rafa yang sekarang berada
dihadapannya. Namun Atha tetap diam, dia tidak manjawab pertanyaan sahabatnya.
Rafapun mengeceknya dengan menempelkan punggung tangannya pada dahi dan pipi
Atha. Mata Rafa melebar ketika merasakan suhu badan Atha.
“Badan
kamu panas, ayo kuantar ke UKS” Perintah Rafa dengan khawatir.
Atha
hanya menggeleng lemah, tubunya terlalu lemah untuk berjalan ke UKS. Jangakan
untuk berjalan, untuk mengeluarkan suara dari mulutnya saja terasa terlalu
berat baginya. Rafa menghembuskan nafas dan memandang sahabatnya yang semakin
lemah di hadapannya dengan tatapan prihatin. Rafa tak lagi memaksa Atha.
“Fa,
aku kedinginan”kata Atha dengan suara parau
Mata
Atha sayup, bibirnys pucat, telapak tangannya dingin dan basah berkeringat.
Kemudian Rafa merapatkan posisi duduknya disamping Atha. Rafa memeluk dan
mengenggam tangan Atha untuk menghangatkannya. Rafa tak lagi peduli dengan jam
pelajaran olahraga yang ia tinggalkan. Meskipun ia tahu akan ada hukuman atas
tindakannya tersebut. Rafa tetap menemani Atha dan memeluknya hingga Atha
tertidur.
Part 6
Angin
berhembus perlahan, memainkan ujung-ujung kerudung dan pakaiannya. Terdengar
suara gemuruh ombak yang seolah ingin menghibur gadis dengan outfit bernuansa
gelap dengan kerudung berwarna mocca itu.
Ia
berjalan barefoot di pinggir pantai, membiarkan kakinya bersentuhan langsung
menikmati lembutnya pasir pantai. Bahkan sesekali ombak tenang menyapa kaki
kecilnya. Langit semakin menguning, bayangan mentari yang tenggelam jauh
ditengah laut terpantul sempurna di mata indahnya.
Kini ia
berjalan menjauh dari bibir pantai,kemudian duduk diatas pasir, menatap mentari
yang bergerak perlahan meninggalkan langit.
Bibirnya
sedikit terangkat, mengukir senyuman kecil. Ia menarik nafas kemudian
menghembuskannya perlahan. Kepingan kenangan tentang sahabat kecilnya yang
telah lama terkubur dalam pikiran itu kembali hadir menemaninya menikmati
sunset di pantai sore ini.
Matanya
terlihat berkaca-kaca, genangan air mata mulai menumpuk di bagian bawah
matanya. Bibirnya perlahan terbuka, seolah ingin mengungkapkan perasaannya pada
mentari yang tengah menatapnya seolah menyampaikan salam perpisahan dengannya.
“Terimakasih,
telah mengutuhkan kembali yang pernah retak” ucapnya pelan.
Tanpa ia
sadari, cairan bening itu telah jatuh dari mata indahnya. Ia bahkan tak menyadari
kehadiran seorang lelaki bertubuh berisi yang kini duduk disampingnya. Lelaki
itu mengamati matanya yang basah, kemudian tersenyum kecil, merasa lucu karena
gadis disampingnya masih sibuk dengan lamunannya hingga tak menyadari
kehadirannya. Bahkan gadis itu tidak tergoda sedikitpun dengan aroma matcha
hangat dalam cangkir yang ia bawa.
Lelaki
itu kemudian menyodorkan salah satu cangkir yang ada di tangannya kedepan gadis
yang ada disampingnya.
“Tha?”
panggil lelaki itu.
Gadis
itu tersadar dari lamunannya dan menatap secangkir minuman hijau di depannya,
yang selama ini menjadi minuman favoritenya. Pandangan matanya beralih
memandang mata pembawa cangkir itu.
“Kok
malah nangis sih? Baru aja ditinggal bentar masa iya udah kangen?” kekeh lelaki
iku.
Gadis
itu tersenyum melihat sahabat kecilnya yang sikapnya masih sama saja seperti
dulu.
“Nih”
ulang lelaki itu, karena cangkir di tangan kanannya masih saja belum mendapat
respon apapun dari gadis di sampingnya.
Kemudian
ia meraih cangkir yang ada didepannya.
“Terimakasih”
Ucapnya tersenyuman lelaki itu hanya mengangguk.
Ia menghirup
dalam secangkir matcha hangat yang ada digenggamannya. Wangi menenangkan
dari teh itu membuatnya candu untuk menikmatinya. Mereka menikmati secangkir
matcha bersama diatas lembutnya pasir pantai. Mereka sama-sama diam, menatap
mentari yang hamper habis tenggelam di tengah lautan.
Ya,
merekalah Rafa dan Atha yang kini telah tumbuh menjadi dewasa. Mereka akhirnya
bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Kisah persahabatan mereka kembali
membaik setelah adanya konflik besar yang sempat membuat hidup mereka kacau,
konflik yang hampir saja menghancurkan persahabatan mereka. Mungkin, jika
mereka saling mengutamakan ego mereka masing-masing, maka tak kan ada lagi kata
sahabat diantara mereka. Namanya juga persahabatan, bukan persahabatan namanya
jika berakhir. Karena sejatinya, persahabatan tak kan pernah usai.
Mereka
bersikap dewasa dalam menghadapi dan juga menyelesaikan konflik diantara mereka
berdua. Mereka tahu, jika konflik kemarin hanyalan rintangan dalam persahabatan
mereka. Tanpa adanya konflik, persahabatan mereka tak kan berwarna. Tanpa
adanya konflik, mereka tak kan tahu betapa berartinya mereka satu sama lain.
Dari konflik ini menyadarkan mereka untuk
saling terbuka, saling mengerti, saling memahami, saling mendukung, saling
menguatkan, dan saling memiliki satu sama lain. Juga saling memepertahankan persahabatan
mereka.
Setelah
mentari benar-benar menghilang, tetap saja tak ada percakapan diantara mereka,
hingga akhirnya Rafa meletakkan cangkirnya.
“Main
air yuk Tha?”
“Nggak
ah, udah gelap juga” Tolak Atha
“Udah
ayok” Paksa Rafa sambil mengambil cangkir yang ada di genggaman Atha dan
meletakkannya.
“Aku
kesini bukan untuk nemenin kamu nangis” Kata Rafa sambil berdiri dan meraih
tangan Atha.
Atha
akhirnya menerima ajakan Rafa. Mereka berlari menuju bibir pantai, saling
mencipratkan air, kejar-kejaran. Sesekali terdengar gelak tawa disela-sela
keseruan mereka. Mereka terlihat begitu bahagia. Bahkan semestapun ikut
tersenyum mewarnai kebahagiaan mereka. Hembusan pelan angin, deburan ombak
tenang dan langit cerah bertabur bintang yang seolah ikut berbahagia menemani
tawa mereka. Semesta juga menjadi saksi kisah persahabatan mereka.
Cinta
memang hebat, persahabatan yang telah lama terjalin bisa goyah hanya karna
cinta. Namun, cinta dalam persahabatan mereka jauh lebih hebat, yang mampu
mengalahkan ego mereka masing-masing dan mempersatukan mereka kembali. Semoga
mereka selamanya seperti itu.
Part 7
#Atha POV
Aku
percaya, semua akan membaik. Terimakasih karna telah mengutuhkan kembali yang
pernah retak, menyatukan kembali yang pernah terpisahkan. Aku tak akan pernah
lupa dengan apa yang telah mendewasakan kita.
Kembali
kuucapkan terimakasih untukmu, Rafa. Terimakasih.. terimakasih telah bertahan
menjadi sahabatku. Maaf, karena begitu banyak ungkapan terimakasih dan maaf
yang tak mampu kuungkapkan dengan kata. Satu hal yang menjadi permintaanku
untukmu, tetaplah seperti ini sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun.
Dan satu
lagi, selamat ulang tahun untuk 27 Mei 2020 lalu. Love you..
Your
Friend,
Renatha
When I have a bad day
You always knew what to say
You always hug me when I cry
You always knew what to say
Now, we went our separate way
But, I always remember you in my day
Please, never stay away
Never Stay Away 😊
Komentar
Posting Komentar